
Mataram – Dalam upaya mendorong terwujudnya produk hukum daerah yang berperspektif hak asasi manusia, Kantor Wilayah Kementerian Hukum Nusa Tenggara Barat (Kemenkum NTB) mengikuti Rapat Analisa dan Penelaahan Produk Hukum Daerah dari Perspektif HAM dengan fokus pada Peraturan Walikota Bima Nomor 71 Tahun 2019 tentang Jumat Khusuk, Kamis (11/6). Kegiatan ini berlangsung di Gedung C Ruang Rapat Kementerian Hukum NTB dan diikuti oleh perwakilan dari Kanwil Kemenkum NTB, Kanwil Kemenkum NTT, Pemerintah Kota Bima, serta akademisi Universitas Mataram.
Kegiatan dibuka oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian HAM Nusa Tenggara Timur, Oce Yuliana Naomi Boymau, yang menyampaikan apresiasi atas kehadiran para peserta. Ia menegaskan bahwa analisa dan penelaahan produk hukum daerah merupakan bagian penting dari pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang HAM, terutama dalam penyusunan instrumen dan penguatan kapasitas HAM di daerah. “Melalui kegiatan ini, diharapkan setiap produk hukum daerah dapat memastikan keseimbangan antara nilai-nilai lokal dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia,” ujarnya.
Sebagai narasumber, Plt. Kepala Bagian Hukum Setda Kota Bima, Firdaus, S.H., menjelaskan bahwa Perwali Nomor 71 Tahun 2019 tentang Jumat Khusuk merupakan inisiatif strategis Pemerintah Kota Bima untuk memperkuat nilai-nilai religius dan menciptakan suasana kondusif bagi pelaksanaan ibadah Shalat Jumat. “Tujuannya untuk meningkatkan kekhusyukan ibadah, menertibkan aktivitas publik, serta membangun karakter religius masyarakat. Sejak diberlakukan, tingkat kepatuhan masyarakat meningkat dan ketertiban umum lebih terjaga,” ungkapnya.
Sementara itu, Dr. Muh. Risnain, S.H., M.H., akademisi Universitas Mataram, memberikan pandangan dari perspektif HAM. Ia menilai bahwa beberapa aspek dalam Perwali tersebut masih memerlukan penyesuaian, khususnya dalam konsideran hukum dan penerapan sanksi sosial. “Beberapa pasal perlu disempurnakan agar tidak menimbulkan potensi pelanggaran HAM dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh warga. Kami merekomendasikan agar Perwali ini ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah,” jelasnya.
Dari sisi penyusunan regulasi, Perancang Peraturan Perundang-undangan Kanwil Kemenkum NTB menyoroti pentingnya pemenuhan asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law). Menurutnya, penggunaan frasa “wajib” bagi seluruh masyarakat untuk menghentikan aktivitas berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat dengan keyakinan yang berbeda. Oleh karena itu, direkomendasikan agar pengaturan tersebut disesuaikan menjadi Surat Edaran atau dituangkan dalam Peraturan Daerah tentang Pengaturan Lalu Lintas saat Pelaksanaan Shalat Jumat.
Selain itu, Analis Hukum Kanwil Kemenkum NTB menambahkan hasil evaluasi dari sisi legal drafting bahwa terdapat beberapa konsideran hukum yang belum sesuai dengan kaidah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ia juga menilai masih terdapat pasal-pasal yang belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar filosofis.
Sebagai tindak lanjut, hasil rapat menyimpulkan bahwa Peraturan Walikota Bima Nomor 71 Tahun 2019 tentang Jumat Khusuk direkomendasikan untuk ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah dengan sejumlah perubahan dan perbaikan substansi agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan menjamin kesetaraan bagi seluruh warga masyarakat.
Melalui kegiatan ini, Kakanwil Kemenkum NTB, I Gusti Putu Milawati menegaskan komitmennya untuk terus mendorong pembentukan produk hukum daerah yang tidak hanya efektif dan kontekstual, “Tetapi juga berlandaskan pada nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan, dan non-diskriminasi,’ ujarnya dalam kesempatan terpisah.

